Menurut
sejarahnya, pembentukan Kabupaten Musi Banyuasin terbagi dalam tiga periode
yang saling berkaitan satu sama lain.
Periode 1945 - 1950
Periode 1945 - 1950
Setelah
diproklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintahan awal mulai
melakukan penataan dan penyesuaian sistem penyelenggaraan Negara dan
Pemerintahan darisistem otokrasi dan birokrasi warisan kolonial ke sistem
demokrasi. Namun usaha ini menjadi tersendat-sendat dikarenakan pemerintah
lebih berkonsentrasi menghadapi Agresi Militer Belanda I yang ingin menjajah
kembali lndonesia. Untuk menghadapi ancaman Belanda dan sekutu-sekutunya,
pemerintah dalam hal ini Panitia Persiapan Kemerdekaan lndonesia (PPKI) yang
dibentuk tanggal 22 Agustus 1945, mengintruksikan kepada KNI Daerah untuk
membentuk Partai Nasional dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Pada
awal kemerdekaan, Kabupaten Musi Banyuasin terdiri dari dua kewedanaan yang
berada di bawah keresidenan Palembang. Yaitu Kewedanaan Musi Ilir yang
berkedudukan di Sekayu dan Kewedanaan Banyuasin yang berkedudukan di Talang
Betutu. Oleh karena itu seiring terbentuknya BKR Palembang maka pada tanggal 27
September 1945 dibentuklah BKR Musi Banyuasin yang berkedudukan di Sekayu.
Badan Keamanan Rakyat (BKR) Musi Banyuasin dipimpin oleh Kapten Usman Bakar dan
didampingi dua wakil pimpinan, yaitu A. Munandar Wasyik (Wakil Pimpinan I),
serta Nawawi Gaffar dan A.Kosim Dahayat (Wakil Pimpinan II).
Ditengah-tengah
kancah revolusi mempertahankan kemerdekaan melawan agresi Belanda, pada tanggal
10 Juli 1948 diterbitkan Undang Undang Nomer 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang Undang ini berisikan antara lain membagi tingkatan
Badan-Badan Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Propinsi, Kabupaten, dan atau
Kota Besar. Tingkatan yang lebih bawah lagi belum dapat ditentukan karena
nama-namanya ditiap daerah Ikota besar berbeda-beda. Namun Pasal 1 Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1948 menyebutkan bahwa Republik lndonesia dibagi dalam
tiga tingkatan yaitu Propinsi, Kabupaten dan Desa/Kota Kecil, Negeri, Marga,
dan lain-lain yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
Adanya
beberapa wilayah yang berhasil dikuasai Belanda kembali, menyebabkan adanya
perubahan sistem pemerintahan. Pada tanggal 30 Agustus 1948 Belanda menyetujui
dan memberikan hak kepada Dewan untuk membentuk suatu lembaga dengan satu
kabinet yang bertanggung jawab pada seorang presiden. Presiden yang mempunyai
kuasa perundang-undangan yang sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian
melantik Abdul Malik sebagai Wali Negara Sumatera Selatan untuk masa empat
tahun, sedangkan DPR-nya dilantik oleh Regening Comisoris Besture
Aongelegenheden (Recomba) pada bulan April 1948. Negara Sumatera Selatan
dibentuk dengan alasan seobagai embrio salah satu anggota Negara Republik
lndonesia Serikat (RIS) yang akan datang. Pembentukan Negara Sumatera Selatan
inilah yang menyebabkan dikeluarkannya Marga Panukal Abab dari Musi Banyuasin.
Selanjutnya tanggal 10 Februari 1950 DPR Negara Sumatera Selatan memutuskan
untuk menyerahkan kekuasaannya pada RIS. Tindakan DPR Negara Sumatera Selatan
ini mempengaruhi negara bagian lain bentukan Belanda untuk menyerahkan
kekuasaaannya kepada RIS. Perlu diketahui Negara Sumatera Selatan, yang
bentukan Belanda, sejak didirikan hingga menyerahkan kekuasaan kepada RIS tidak
berfungsi karena ditentang rakyat. Namun sebaliknya Pemerintahan Republik masih
tetap dihormati dan ditaati rakyat. Hal ini ditandai masih terus
diperjuangkannya perlawanan terhadap Agresi Belanda I.
Begitu
pula staf Pemerintah Daerah Sumatera Selatan, bentukan Republik, selalu
mendapat tekanan dari Belanda. Untuk menghindari tekanan tersebut dan demi
kelancaran pemerintahan maka dr. M. Isa yong menjabat Gubernur Muda Sumatera
Selatan, mengungsi dari Palembang melalui Sungai Musi dengan menggunakan kapal
roda lambung menuju Lubuk Linggau pada tanggal 23 September 1947, selanjutnya
menetap di Curup sebagai pusat pemerintahan Sumatera Selatan.
Selanjutnya
berdasarkan perjanjian Renville, diadakan pertemuan antara pihak Republik dengan
Belanda yang bertempat di Lahat. Pada pertemuan tersebut ditetapkan garis
statisko Daerah Musi Banyuasin yang hanya mencakup sebagian Kewedanaan Musi
Ilir di bagian utara yang meliputi Marga Lawang Wetan, Marga Babat, Marga Sanga
Desa, Marga Pinggap, dan Marga Tanah Abang.
Periode
1950-1957
Sejak
terbentuknya Republik lndonesia Serikat (RIS). pada 18 Maret 1950dibubarkan
Negara Sumatera Selatan dan disahkan sebagai Negara Serikatoleh RIS pada 25
Maret 1950 yang kemudian disusul penetapan DaerahIstimewa Bangka Belitung pada
22 April 1950. Sejak saat itu susunanpemerintah di Sumatera Selatan terdiri
dari Keresidenan, Kabupaten, danKewedanaan. Untuk Keresidenan Palembang terdiri
dari 6 Kabupaten dengan14 Kewedanaan. Susunan tingkat pemerintahan dan status
PemerintahanOtonomi tersebut masih tetap mengacu pada Undang Undang Nomor 22
Tahun1948 meskipun Undang Undang RIS yang diberlakukan.
Selanjutnya
diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1950 sebagai pengganti Undang
Undang. Sebagai realisasi dari PP Nomor 3 Tahun 1950ini, Badan Pekerja yang
semula hanya membantu pemerintah dalammelaksanakan tugasnya diganti dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)Sumatera Selatan dan DPRS yang memiliki sendiri
ketuo dan wakilketuanya. Namun PP Nomor 3 Tahun 1950 belum dapatdiloksanakan
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu Kepala Daerah bersama-sama Badan
Pekerjamasih tetap menjalankan segala tugasnya yang semula menjadi
tanggungjawab Gubernur atau Bupati.
Masih
dalam rangka penataan pemerintahan di daerah, diterbitkan pula PPNomor 39 Tahun
1950 yang menetapkan Propinsi Sumatera Selatan (termasuklampung dan Bengkulu)
dibagi atas 14 (empat belas) Kabupaten dan 1(satu) Kota Besar Palembang, serta
1 (satu) calon Kota Besar TanjungKarang atau Teluk Betung. Sebagai pelaksanaannya
terlebih dahuludibentuk dewan-dewan kabupaten yang baru terbentuk 4 (empat)
dewankabupaten, yaitu tiga di lampung dan satu di Bengkulu. Selanjutnya PPNomor
39 Tahun 1950 tersebut dibekukan sebagai akibat mosi dari HadiKusumo. Sehingga
dengan demikian pembentukan Dewan Kabupaten dansekaligus Kabupaten Musi
Banyuasin tertunda hingga tahun 1954.
Berhubung
pembentukan kabupaten terus semakin mendesak, dengan mengacupada Keputusan
Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (Mendagri)Nomor 2 Tahun 1951 dan
dengan alasan demi kemajuan demokrasi danrevolusi makapara pemuka masyarakat,
kalangan DPR dan Gubernurmengadakan musyawarah yang hasilnya dituangkan dalam
Surat KeputusanNomor 53 Tahun 1954, yang antara lain menetapkan agar segera
menataPemerintahan Marga yang maksudnya agar pemerintahan marga ini
menjadisendi dasar yang kokoh dari pemerintahan atasan dengan menggunakan
hakotonomi menurut hukum asli. Hal ini memudahkan penyesuaian diri
denganpembentukan otonomi daerah sambil menunggu Undang Undang Nomor 22
Tahun1948 yang sedang ditinjau kembali.
Ide
untuk menata Pemerintah Marga sebagai daerah otonomi yang berhak mengurus diri
sendiri itu, kelihatannya mendapat pengakuan Kolonial Belanda yang ditandai
dengan dikeluarkannya Indis Gemente Ordonanti Buitinguresten (IGOB) Stl
1938 Nomor 490 yang mengatur keuangan Pemerintahan Marga. Berhubung penataan
pemerintahan Marga sebagai daerah yang paling rendah menampakkan hasil yang
positif, karena disamping dapat mengatur diri sendiri juga ditaati rakyat
sehingga pemerintah marga terkesan lebih efektif dan dihormati oleh rakyat.
Sambil menunggu Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberlakukan kembali,
diadakan pembentukan desa percobaan sebagai pilot proyek daerah otonom yang
lebih kecil, yaitu Desa Rantau Bayur pada tahun 1953.
Dalam
upaya mewujudkan pelaksanaan pembentukan kabupaten otonom, sementara menunggu
ketentuan lebih lanjut SK Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor 2
Tahun 1951 tanggal 25 Febuari 1951, Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera mengeluarkan
Surat Instruksi Kebijasanaan Nomor: GB.30/ 1/1951 dan Surat Gubernur tanggal 10
Juli 1951 Nomor: D.P /9/ 1951 tentang persyaratan dan kriteria Pembentukan
Kabupaten Daerah Otonom.
Sebagai
realisasi kedua surat tersebut, Panitia Pembentukan Kabupaten Otonom (PPKO)
mulai melaksanakan tugasnya. Sebagai dasar pembentukan kabupaten adalah wilayah
kewedanaan dengan tolok ukur sebagai berikut:
a.
Penduduk yang berjumlah sekitar 300.000 jiwa,
b.
Daerah pertanian bahan makanan (beras) dan hasil bumi ekspor,
c.
Pusat-pusat perdagangan atau pelabuhan untuk ekspor-impor,
d.
Perhubungan yang sederhana baik jalan darat maupun air, dan
e.
Hubungan sejarah dan pertalian darah antara rakyat setempat.
Sesuai
dengan ketentuan tersebut maka dibentuklah Kabupaten Musi lIir-Banyuasin yang
merupakan gabungan dari Kewedanaan Musi llir dan Kewedanaan Banyuasin yang
dimasukkan dalam lingkup Kabupaten Palembang llir, Selain itu terdapat dua
kewedanaan lain yang masuk lingkup Kabupaten Palembang llir, yaitu Kewedanaan
Lematang/Ogan Tengah dan Rawas. Akan tetapi hasil kerja PPKO dan DPD Propinsi
Sumatera Selatan tidak berlanjut, sehingga kewedanaan masih berfungsi sampai
dikeluarkannya Undang Undang Nomor: 26 Tahun 1959. Dengan Undang Undang baru ini,
terbentuklah Kabupaten-kabupaten dan Kotamadya di Propinsi Sumatera Selatan,
yang terdiri dari 8 (delapan) kabupaten dan 2 (dua) kotamadya, termasuk
diantaranya Kabupaten Musi Ilir Banyuasin dengan jumlah penduduk 463.803 jiwa,
yang ibukotanya Sekayu.
Periode
1957-1965
Bagi
Daerah Musi Banyuasin, sebelum terbentuknya kabupaten tidak dapat berbuat
banyak untuk melaksanakan Perundang-undangan tersebut. Baru setelah terbentuk
Kabupaten Musi lIir-Banyuasin pada tanggal 28 September 1956, berhasil melaksanakan
tugas dengan terpilihnya R.Ahmad Abusamah sebagai Kepala Daerah, Zainal Abidin
Nuh sebagai Bupati, dan Ki.H.Mursal dari Partai Masyumi sebagai Ketua DPR.
Kemudian diperkokoh dengan Undang Undang Nomor:28 Tahun 1959 tentang
Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II dan Kot Praja di Sumatera Selatan.
Gagalnya
Dewan Konstituante membentuk Undang Undang Pengganti UUD Sementara RIS,
mengakibatkan dikeluarkanya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang isinya
antara lain membubarkan Dewan Konstituante, dan memberlakukan kembali UUD 1945,
dan menyatakan UUD Sementara RIS tidak berlaku lagi. Sebagai tindak lanjut
peristiwa ini, semua produk hukum yang bersumber pada UUD Sementara RIS
diadakan penyesuaian kembali, bahkan ada yang diganti dengan produk hukum yang
bersumber pada UUD 1945. Sementara menunggu ketetapan lebih lanjut, demi
kelangsungan roda pemerintahan di daerah maka dikeluarkan penetapan Presiden
Nomor 6 Tahun 1959 tanggal 7 Nopember 1959 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada
Bab I Pasal l penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 ini disebutkan bahwa
Pemerintahan Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Perwakilan Rakyat Daerah.
Oleh karena itu setelah penyesuaian penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959,
kedudukan Kepala Daerah masih tetop dijabat R. Ahmad Abusamah, dan Sekretaris
Daerah dijabat Abul Korry (Abdul Korry Marajib). Kemudian dikeluarkan pula
penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRDGR). Dengan maksud penetapan Presiden tersebut Ketua DPRDGR ditetapkan Ki.H.
Oemar Mustafah dari Partai Nahdatul Ulama (NU) dan untuk Bupati Kepada Daerah
dicalonkan 2 (dua) orang, yaitu Usman Bakar, calon dari Veteran Angkatan 45,
dan R. Ahmad Abusamah dari Partai Nasional lndonesio IPNII. Dari hasil
pemilihan ini terpilihlah Usman Bakar sebagai Kepala Daerah yang dilantik pada
tahun 1961 bertempat di Balai Pertemuan Sekanak Palembang oleh Gubernur
Propinsi Sumatera Selatam Kol.Pol. Ahmad Bastari.
Sesuai
dengan isi Bab II Pasal 14 Ayat 1, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, bahwa
Kepala Daerah adalah alat Pemerintah Pusat dan alat Pemerintah Daerah. Dengan
demikian Kepala Daerah diubah menjadi Bupati Kepala Daerah yang dalam hal ini
adalah Bupati Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Musi Banyuasin, disingkat
dengan Daswati II Musi Banyuasin. Karena itu, Usman Bakar sebagai Bupati Kepala
Daerah pada waktu serah terima, menerima dua jabatan yaitu sebagai Bupati serah
terima dengan Bupati Zainal Abidin Nuh dan sebagai Kepala Daerah serah terima
dengan R. Ahmad Abusamah.
Untuk
membantu Bupati Kepala Daerah dalam melaksanakan tugasnya, dibentuklah Badan
Pemerintah Harian (BPH). Namun saat itu pembentukan BPH masih belum
memungkinkan maka Bupati Kepala Daerah masih dibantu Dewan Pemerintah Daerah
(DPD). Pada saat dilantiknya Usman Bakar sebagai Bupati Kepala Daerah Daswati
II Musi Banyuasin, seluruh kantor pemerintahan masih berada di Kota Praja
Palembang, kecuali Kantor Pekerjaan Umum dan Kesehatan yang telah berada di
Sekayu. Hal ini disebabkan pada waktu pembentukan kabupetn otonom oleh PPKO,
Kabupaten otonom Musi Banyuasin tergabung dalam Kabupaten Palembang Ilir di
bawah Keresidenan Palembang. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor: Des.52/2/37-34 tanggal 1 April 1963
secara resmi ditetapkan Sekayu sebagai Ibukota Kabupaten Daswati II Musi
Banyuasin.
Kemudian
masa jabatan Bupati Kepala Daerah Daswati II Musi Banyuasin (Usman Bakar)
berakhir. Sementara menunggu pemilihan Bupati, ditunjuk M. Sohan sebagai
Pejabat Bupati Kepala Daerah Daswati II Musi Banyuasin yang ditugaskan
melaksanakan pemerintahan disamping melaksanakan pemilihan Bupati. Pada saat
pemilihan terdapat 3 (tiga) orang calon yang dlpllih, yaitu Abdullah Awam dari
ABRI/TNI AD, M.Suhud Umar dari Polri, dan Arbain dari Partai Sarikat lslam
lndonesia (PSII). Dari pemilihan tersebut terpilihlah Abdullah Awam yang
ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: UP.14/11/39-1992
tanggal 18 Desember 1965. Pada saat pemilihan Bupati Abdullah Awam, Ketua
DPRD-GR masih dijabat Ki.H.Umar Mustofah dan kemudian pada masa jabatan Bupati
yang sama, digantikan oleh Abusamah Sahamid dari PSII. Setelah itu berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: Pemda.7 /2/25/82 tanggal 3 Maret
1971 Bupati Abdullah Awam mengakhiri masa jabatannya yang kemudian digantikan
oleh Syaibani Azwari periode 1971-1976 dengan Ketua DPRD-GR Abdullah Suin.
Selanjutnya
masih dalam rangka penertiban struktur Pemerintah Daerah, diterbitkan Undang
Undang Nomor: 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintah di Daerah. Dan sejak
dikeluarkannya Undang Undang ini penyelenggaraan pemerintahan daerah semakin
tertib dan efektif. Hal ini dikarenakan Undang Undang tersebut lebih menyentuh
kepentingan Pemerintah Pusat dan Daerah dengan adanya azas Dekonsentrasi dan
Desentralisasi serta azas Pembantuan. Dengan demikian kedudukan menjadi Kepala
Daerah dalam menyelenggarakan Pemerintah Daerah dan sebagai alat Pemerintah
Pusat di daerah semakin jelas, sehingga Bupati sebagai penguasa tunggal di
daerah merupakan salah satu sarana koordinasi yang paling tepat untuk menyentuh
persepsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Berdasarkan
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974, dilaksanakan pemilihan Bupati Kepala Daerah
selama 5 tahun sekali demikian juga dengan pemilihan Ketua dan Wakil Wakil
Ketua DPRD setiap usai Pemilu. Pelaksanaan UU tersebut mulai berjalan mantap
sejak periode Bupati Kepala Daerah dijabat H.Amir Hamzah sampai dengan
terpilihnya H. Nazom Nurhawi.
Adapun
urutan Bupati Kepala Daerah berdasarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah
sebagai berikut:
- H. Amir Hamzah, Letkol Infantri, ditetapkan dengan SK Mendagri Nomor:Pem.7 /5/13-220 tanggal 14 Juni 1976. Sebagai pengganti Bupati Syaibani Azwari dan sebagai Ketua DPRD adalah Rozali Harom. Selanjutnya Bupati Amir Hamzah terpilih kembali untuk kedua kalinya untuk periode 1981-1986.
- Sulistijono, Letkol Kavaleri, ditetapkan dengan SK Mendagri Nomor: 131.26-83 tanggal 3 Juni 1986, periode 1986-1991,dan sebagai Ketua DPRD masih dijabat Rozali Harom
- Arifin Djalil, Kolonel Infantri, ditetapkan dengan SK Mendagri Nomor: 131.16488 tanggal 1 Juni 1991 periode 1991-1996, dan sebagai Ketua DPRD dijabat Alirudin SH.
- Nazom Nurhawi, Kolonel CHB, dengan SK Mendagri Nomor: 13.26-404 tanggal 4 Juni 1996, periode 1996-2001, dan sebagai Ketua DPRD dijabat Dr. Zainal Ansori dari Golongan Karya.
Pada
tahun 1999 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 diganti dengan Undang-Undang Nomor
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian pada tahun 2004 terjadi
perubahan atas Undang-Undang tersebut dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.
Pada
masa otonomi daerah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan
Undang-Undang 32 tahun 2004, telah dilaksanakan 2 kali pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati, Bupati dan Wakil Bupati yang terpilih yaitu :
- H. Alex Noerdin dan Mat Syuroh, periode 2001-2006, dilantik pada tanggal 31 Desember 2001. Bupati dan Wakil Bupati dilantik berdasarkan SK Mendagri Nomor 131.26.491 dan 131.26.492 tahun 2001 tanggal 26 Desember 2001 dan sebagai Ketua DPRD dijabat Letkol (CPL) Lili Achmadi.
- H. Alex Noerdin dan H. Pahri Azhari, periode 2007-2012, dilantik pada tanggal 16 Januari 2007, berdasrkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 tahun 2006 tentang pengesaha, pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kab. Musi Banyuasin.
Pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Musi Banyuasin untuk periode 2007-2012 untuk pertama
kali di Kab. Musi Banyuasin dipilih langsung oleh masyarakat yang sudah
memiliki hak pilih sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 tahun 2005.
Pelaksanaan
Pilkada langsung di Kab. Musi Banyuasin berjalan dengan tertib dan sukses dan
diharapkan menjadi contoh untuk pelaksanaan pilkada langsung bagi daerah-daerah
yangakan melaksanakan pilkada langsung.
Berdasarkan
hasil kesepakatan anggota DPRD Muba, terpilih H. Sulgani Pakuali, S.IP sebagai
ketua DPRD Kab. Musi Banyuasin periode 2004-2009 yang dilantik pada tanggal 27
Oktober 2004.
Link : http://www.mubakab.go.id/portal/sejarah-kabupaten-musi-banyuasin.html
Link : http://www.mubakab.go.id/portal/sejarah-kabupaten-musi-banyuasin.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar